Menulis Kreatif
Hari
Sabtu (10/2) lalu, saya sempat menghadiri pameran “Nyawiji” yang dipersembahkan
oleh mahasiswa seni lukis dari FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Kabar
mengenai pameran tersebut pun saya peroleh dari seorang teman yang kebetulan
merupakan mahasiswa FBS UNY dan juga teman dekat waktu SMA dulu yang sering menghabiskan
massa putih abu bersama dengan kenakalan-kenakalan seperti pamer suara knalpot
motor di depan SMA lain, Volly di jam kosong, maupun sholat duhur ketika guru
sudah mau masuk. Semua kenangan tersebut seketika terlintas di ingatan-ingatan
yang menggenang di balik ubun-ubunku.
Saat
memberikan kabar pameran “Nyawiji” tersebut rupanya temanku pun tidak
sembarangan memberikan kabar, dia pun sekaligus menyuruhku untuk datang dan
mengajak beberapa teman-teman kuliahku lainya untuk datang.
“
Rip, bsk tgl 10-11 selo kan ? Teko ning pameran “Nyawiji” yoo, wkwk ono
lukisanku soal e. Tulung kanca-kancamu sik pikiran e kusut-kusut mergo laporan
praktikum di ajak sekalian haha, aku reti FMIPA pikiran e ga adoh seko teks
book, padahal urip iki ora melulu tentang buku J seko lukisan kowe yo iso sinau, dadi Kowe kudu teko
cukk !”
Yahh,
seperti itulah direct message teman SMA saya untuk menghasut menghadiri pameran
tersebut. Tanpa pikir panjang kali lebar saya pun menyetujuinya karena saya
pikir benar juga kata temanku tadi. Belajar tidak melulu tentang buku yang
isinya hanya tesis-tesis yang kadang membuat hidup kita lurus mengikutinya.
Terkadang jiwa kita juga butuh belaian estetis melalui pengindraan visual
maupun auditori dengan cara yg sederhana, seperti berekreasi di sebuah
pameran/pertunjukan teater atau pantomim, pikirku. Sehingga hidup kita menjadi
lebih seimbang dan sehat.
Seperti
yang dijanjikan sebelum pergi kepameran saya mengajak beberapa rekan kuliah,
namun apa daya teman-teman saya pun sibuk dengan waktu dan amanahnya masing-masing.
Tetapi akhirnya saya memutuskan secara spontan mengajak teman yg kupikir dia
sedikit selo dan jones (jomblo ngenes) katanya sih hahaha untuk menghadiri
pameran tersebut. Sempat ragu sebenarnya mengajak teman satu ini sebut saja
“Tronton” karena mengingat rumahnya yg jauh di ufuk utara sana. Tapi karena dia
terlanjur digelayuti kegabutan yang haqiqi maka si Tronton pun ga keberatan dan
ikut melihat pameran “Ngawiji”
Saat
di dalam gedung pameran, saya dan tronton sempat melompong melihat beberapa
lukisan yang dilukis dengan makna-makna yang dalam, setiap arsiran kuas yang tertoreh
dikanvas mempunyai nyawa dan alur ceritanya masing-masing. Sebagai orang yg
awam tentang karya seni rupa saya pun hanya bisa takjub. Bagaimana mungkin
sebuah lukisan yg hanya garis lengkung berwarna abu hitam menjadi sebuah bomm
di mataku, haha keren-keren :)
Akan
tetapi dari beberapa lukisan yang ada di pameran “Nyawiji” tersebut mataku
sempat lemas ditelan satu lukisan, yaitu sebuah lukisan dengan gambar sebuah
ruang gelap dengan sedikit cahaya yg menyelinap diantara jendela. Di beberapa
sudut ruangan ada beberapa pasang sepatu menggantung dan ada yg berjejer-jejer
di rak yg vertikal. Di lukisan tersebut tampak bahwa sisi-sisi dari gambar
lukisan mulai terkikis miris, namun ada satu sepasang sepatu yang tetap utuh
diantara kikis yg mengais. Entah apa yg dimaksud pelukis menggambarkan lukisan
tersebut, namun saya hanya bisa menerka bahwa lukisan tersebut menggambarkan
sepasang sepatu akan kehilangan jati dirinya dan akan berakhir di gantungan atau
mendekam di atasa rak jika sudah waktunya kecuali sepasang sepatu yg selalu
berusaha menjaga nyaman kaki-kaki majikanya hahaha ngawur banget :v Ya
begitulah cerita saya mengenai pameran “Nyawiji” yang dipersembahkan oleh
mahasiswa seni lukis dari FBS Universitas Negeri Yogyakarta 2018.
Komentar
Posting Komentar